header junitha hornet's story

Cerpen Senandung Hujan

24 komentar

https://www.junithahornet.com/2021/08/cerpen-senandung-hujan.html

"Senandung Hujan"

By : Junitha Hornet

Hujan adalah pengobat rindu dan juga penenang jiwa, rintik demi rintik air hujan bagaikan alunan musik begitu berirama menyejukan dan menyenangkan, aroma khasnya begitu kusukai. Tetapi  bagi sebagian orang terkadang hadirnya mampu menggores luka dan mampu mencabik-cabik perasaan, namun tidak bagiku, aku begitu menyukai hujan, hujan itu begitu menyenangkan.

Bunga anggrek Cattleya yang indah itu bermekaran dan berjejer cantik di atas akar pakis, tiap helai dedaunan dan bunganya basah diguyur air hujan. Anggrek-anggrek inilah salah satu bunga kesayangan mama, yang masih tumbuh subur di teras rumah dan tetap terawat dengan baik.

Sudut teras adalah tempat favoritku apalagi saat turun hujan seperti sore ini, ditemani secangkir green tea dan alunan music dari smartphone. Aku duduk dan sesekali bangkit memainkan kedua kakiku melompat kecil masuk kedalam genangan air hujan di halaman atau sekedar mengangkat kedua telapak tanganku, mengumpulkan tetes demi tetes rintik hujan, dan itu sangat menyenangkan.

Namaku Dea Damayanti, yang artinya perempuan cantik dan terpuji hatinya, orang-orang memanggilku Dea, seperti itulah harapan dan doa kedua orang tuaku dengan memberi nama yang begitu indah.

Hari sudah semakin sore, jika turun hujan seperti hari ini, aku dan Gilang memiliki ritual yang sayang jika terlewatkan. Ya, jika turun hujan kami biasa bermain air atau berteduh di rumah pohon yang berada di halaman belakang, menaiki anak tangga, lengkap dengan camilan yang kami bawa. 

Rumah kami tak jauh dari perkebunan teh dengan pemandangan yang nampak indah di siang hari dan seperti bukit bintang jika malam menjelang, tempat tinggal kami selalu istimewa bahkan saat turun hujan sekalipun.

Aku dan Gilang layaknya saudara, rumah kami hanya berjarak dua puluh langkah. Tetapi sekarang semua nampak berbeda, kami tak lagi bersama, jendela kamar Gilang pun selalu tertutup, atau sesekali terbuka namun yang nampak hanyalah gordyn berwarna putih yang tertiup angin, tak pernah nampak ada sosok cowok usil berambut acak-acakan itu sedang berdiri didepan cermin kamarnya dengan gaya ala rocker, atau kebiasaannya berteriak-teriak dari dalam kamar memanggil namaku.

    “Non Dea, Bibi buatin mie goreng, dimakan dulu yuk Non,” kedatangan bibi mengagetkanku, bibi menghampiriku dengan membawa selembar handuk dan sepiring mie kesukaanku lengkap dengan irisan cabe rawit berwarna oranye dan telor mata sapi setengah matang.

    “Hemmm, pasti lezat terima kasih Bi,” jawabku. Bibi duduk sembari mengeringkan rambutku yang sedikit basah karena air hujan. Aku mulai melahap suap demi suap mie goreng yang begitu enak bikinan bibi.

Bibi Sulis sepertiga usinya sudah tinggal bersama keluarga kami, bahkan sejak papa masih anak-anak. Sampai saat ini bi Sulis dengan tulus membantu semua pekerjaan rumah dan juga menemani hari-hariku. Bibi sudah seperti ibu, teman bahkan sahabat, apalagi sejak mama meninggal lima tahun yang lalu, apapun tentangku bibilah yang menemaniku.

Hari hampir senja, hujan pun mulai reda, aroma pohon pinus yang basah karena hujan tercium begitu khas di hidung. Kami bergegas meninggalkan teras, namun sejenak langkahku terhenti melihat jendela kamar Gilang dari kejauhan. 

    “Gi, aku kangen,” bisiku dalam hati, dan tak terasa netra ini basah.

Pukul 21.30 WIB

Rintik hujan terus berirama, mataku tak juga terpejam malam yang dingin ini membawaku flashback pada sebuah kejadian tiga bulan yang lalu.

Bunyi sirine ambulance begitu memekakan telinga, mobil berwarna serba putih itu berhenti tepat di depan rumah Gilang, aku yang berada di atas rumah pohon sedang menikmati hujan seketika diam mematung, nampak dari kejauhan tante Dewi berjalan terhuyung huyung sehingga beberapa orang harus memapahnya.

    “Gilang, kamu baik-baik saja kan?” gumanku, aku bergegas turun dan berlari menuju rumah Gilang. Papa yang juga mengikuti iring-iringan ambulance turun dari mobil dan menghampiriku. Papa dan beberapa tetangga memang menemani tante Dewi mengantar Gilang ke rumah sakit, Gilang dilarikan ke rumah sakit lepas subuh karena tiba-tiba pingsan, Gilang memiliki riwayat kelainan jantung sejak lahir, namun hari-harinya begitu istimewa tak nampak kesedihan ataupun kesakitan, layaknya anak normal kami melakukan aktifitas bersama. 

Papa memeluku, “Dea, Gilang sudah nggak ada, kamu yang sabar ya,” dengan terbata-bata kalimat itu terucap, Papa berbicara dengan sangat hati-hati dan menahan kesedihan, seketika tangisku pun pecah, kakiku terasa lunglai, dan semua nampak gelap.


Pukul 23.00 WIB

    “Non Dea, belum tidur? Non?” suara pintu berderik, terdengar langkah kaki bibi memasuki kamar kemudian menutup jendela. Aku menahan isak tangis dibalik selimut tebal. Terdengar samar-samar wanita paruh baya itu mematikan lampu kemudian langkah kakinya mulai menjauh. 

Lampu kamar mulai temaram, hujan pun semakin deras, alunan lagu All by my self - Erick Carmen dari smart phone menutup malam ini, membawaku jauh mengenang masa-masa indah bersama Gilang sahabatku. Sebuah persahabatan yang begitu indah.

     “Gilang kelak kita bertemu lagi di surga, aku janji akan kuat dan tak boleh larut dalam kesedihan.” Aku tak boleh melawan takdir, aku harus melanjutkan hidup dengan baik. 

Senandung hujan kini menjadi pengobat rindu, aku harus survive dan kembali menjalani hari dengan bahagia, untuk Papaku, dan untuk orang-orang yang menyayangiku.

Terima kasih Tuhan telah menurunkan hujan sebagai pelepas rinduku untuk mengenang sebuah kebersamaan, bersama orang-orang yang aku sayangi, dan aku bersyukur atas itu semua.

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Junitha Hornet
Selamat Datang di Junitha Hornet's Story Blogger, Cerpenis, dan Penyuka Buku "Menulislah Karena Suka, Maka Kamu Akan Menikmatinya".

Related Posts

24 komentar

  1. Mb.. keren bangeeeeeet!!
    Bikin versi novelnya mb..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak sendy, harus tunggu wangsit dulu nih mbak biar idenya ngalir heheh

      Hapus
  2. Keren ..sampai terbawa suasana,,,
    Ditunggu kelanjutan cerita nya ...👍

    BalasHapus
  3. Mbak feelnya dapet banget. Darknya rasa rindu yg ga mgkn ketemu. Apalagi aku bacanya sambil dengerin lagunya itu :'( keren!

    BalasHapus
  4. Duh bacanya ikutan nyeseklah mbak.. Ini rindu yang sangat sulit diobati, kalau rindu sama orang yang sudah tiada.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untung ada hujan yang jd pengobat rindue gea ya mbak ....

      Hapus
  5. Mbak, kenapa pake nama "Gilang" sih? Hati-hati lho, jangan sampe kurang "ng" nya... Jangan sampai huruf G di awal jadi huruf H

    BalasHapus
  6. Gilang siapa nih, jangan-jangan, eh jangan-jangan. Btw suka mb, aliran rasanya halus

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pak sugi juga ada antologi hujan juganya, tosss dong kita hehe...

      Hapus
  7. Aku gak pernah bisa bikin novel.
    Boleh lah aku belajar ke mba. Novelnya bagus, ngena banget feelnya mba..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bacanya lebih dapet kalau dengerin lagunya yan mbak

      Hapus
  8. kata orang, hujan itu meninggalkan dua hal tak hanya genangan tapi juga kenangan. seperti bayangan gilang yang sudah di surga dan Dea masih senantiasa mengingatnya.

    move on go go dea...

    keren mbak bakat nulis fiksi nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hujan itu adalah saatnya mamak²t mie time sama indomie ya mbak hehe

      Hapus
  9. Mbaak...
    Bagus cerpennya...
    Aku ikut terbawa perasaan ini..

    BalasHapus
  10. Mba, aku suka banget ceritanya.. Feelnya dapet banget..
    Jujur, ikut sedih baca tulisan ini..
    .
    Aku tunggu tulisan selanjutnya ya mba :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbak fadmala, tunggu mext cerpen ya mbak ....

      Hapus
  11. Mbaaaaaaak. Aku jadi ikutan sedih baca cerpen ini. Lanjutkan, Mbak

    BalasHapus
  12. Aduhhh... kepengin nangis😭, nyesek banget ya? jadi teringat sahabat-sahabat yang bertebaran dimana-mana, kangen mereka ❤... kangen masa bersama

    BalasHapus
  13. Mbaaak cerpennya sukses bikin aku terkenang jaman SMP. Bukan karena aku punya temen terus dia meninggal, tapi aku sukaaa banget berimajinasi kalau aku tinggal di rumah yang deket sama kebun teh. Ada rumah pohonnya. Pasti seruu. Makasih udah bawa aku ke memori itu :')

    BalasHapus

Posting Komentar